Senin, 23 Mei 2011
Menikah Lagi
Tak seperti biasa, tatapan Ayah kali ini sungguh lekat, jika saja yang ada dihadapanku saat ini adalah seorang pria tampan di era 70an lalu, pastinya tatapan ini pantas dibilang memikat. Kucium ada bau keanehan yang melekat, seperti ada rahasia tersembunyi yang harus disingkap.
Belum selesai pikiranku berontak oleh ribuan tanya yang mendesak, pecah hening oleh kata dari mulut Ayah yang kukenal bijak, seperti tersambar petir yang sedang menggelegak.
“Anis!! apa Ayah pantas jika menikah lagi?”.
“Pantas jika tidak pernah lahir Kak Ai, Aku dan Altar, pantas juga jika Ibu sudah mati, bahkan teramat pantas meskipun gundukan tanah perkuburan kami masih merah merekah,” jawabku tak bisa menahan emosi.
Astagfirrullahal’adzim, ucapku dari dalam hati meredakan api amarah agar tak lahirkan penyakit hati untuk ditujukan buat Ayahku sendiri hanya karena kata “poligami” yang kurang kusetujui.
“Ayah bertanya bukan berarti harus terjadi.”
“Bukankah Ayah sendiri pernah bilang sangat tidak mungkin muncul akibat tanpa ada sebab, bagaimana bisa pertanyaan tanpa ada alasan kalau tidak didasari atas niat.”
“Ya, meskipun Ayah menikah lagi bukan berarti lepas dari tanggung jawab, intinya bisa adil,” sambung Ayah tetap dengan nada datar dan intonasi yang lembut.
“Adil?! Apa kata itu masih berlaku, atau Ayah juga ingin memaparkan alasan mengikuti sunah Rasul?! Waktu Pak cik Dul mau menikah lagi dia juga bilang seperti itu, buktinya Sasa dan Sasi terlantar, Mak cik harus kembali berjualan kue dan mengambil upah cuci dirumah orang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, dan Pak cik sekarang kemana tuju dengan istri barunya tak seorangpun tau, jangankan uang untuk hidup anak istri kabarpun tidak pernah ia kirim, sibuk mengurusi istri barunya yang lebih ayu. Begitu juga dengan kehidupan Kak Ai anak Ayah sendiri, meski polesan senyum diwajah Kak Ai bisa menipu mata, tapi dia tidak bisa menipu diri sendiri, rasa sakit dan cemburu itu pasti ada, Ayah sendiri dengar setiap malam Kak Ai tergugu dalam tangis, itu karena kata adil tidak ada dalam nyata. Jika harta bisa dibagi rata tidak sama halnya dengan hati dan kasih sayang. Aya harap kesedihan cukup hanya sampai mereka.
Dalam tunduk khusyuk, dengan sepercik gurat sedih, serta sepotong kata “maaf” yang disuguhkan dari bibir pucat Ayah. Terjawab sudah misteri kesedihan dan tatap nanar Ibu, serta keanehan dan amarah tak beralasan dari diri Ayah.
Meski tangis tak bersimbah tapi hati jelas luka, terlebih lagi ketika perceraian menjadi jalan pilihan dan tujuannya pada Ibu, bukan hanya korban perasaan, tapi juga ada yang menjadi korban!.
Pas 400 Kata Dengan Judul
Pontianak, 16 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar